Tirto Adhi Soerdjo, Sosok Minke 'Bumi Manusia' di Dunia Nyata
Tirto Adhi Surdjo |
Dikatakan bahwa sosok Minke mengacu pada sosok Tirto Adhi Soerjo. Hal ini dikonfirmasi oleh adik lelaki Pramoedya, Ananta Toer, Soesiko Toer, dalam wawancara dengan beberapa media.
Pramoedya telah menjadi kepribadian yang dikaitkan dengan kemampuannya untuk melacak ingatan orang Indonesia, kepribadian yang berkontribusi pada pers Indonesia dan yang namanya hampir dilupakan dalam tema sejarah.
Dalam buku "The Beginner", Pram juga mengungkapkan banyak informasi tentang jejak Tirto.
Selain Pram, kisah Tirto juga ditulis dalam puisi Priatman berjudul "Di Indonesia 1875-1917". Puisi ini diterbitkan untuk pertama kalinya dalam buku "Perdjoengan Indonesia di Sedjarah" dan kembali beredar pada lembaran "Lentera" pada 24 Agustus 1962.
Nama Tirto di Indonesia tidak pernah secara intensif ditampilkan sebagai karakter yang berkontribusi pada dunia pers. Sedih, karena hingga akhir hayatnya, hanya sedikit orang yang tahu bahwa ia telah berkontribusi banyak bagi kebangkitan gerakan terpelajar di Indonesia.
Ia menjadi pemula dalam kebangkitan pers pribumi dan menentang gerakan sosial melawan kolonialisme. Tulisan-tulisannya mengajar penduduk asli, sebagai bangsa terjajah, untuk berdiri dan tidak menyesali nasib mereka.
Tirto menerima gelar pahlawan nasional hanya pada tahun 2006, seratus tahun setelah pembuatan surat kabar Medan Prijaji pada tahun 1906. Pada tahun 1973, pemerintah Soeharto hanya memberinya gelar "Pelopor pers Indonesia".
Pertarungan 'Minke' sebenarnya sangat sederhana: terdiri dari menyatukan semua kelompok dalam satu kapal yang sama. Semua komunitas dipersatukan sebagai negara terjajah atau terarah.
Ini keluar dari slogan surat kabar Medan Prijaji, yang ia dirikan "Untuk raja, proposal dan renungan mulia (kaum intelektual), para priyayi, kepada para pedagang yang dibandingkan dengan Anak-Anak Bangsa di seluruh Hindia Belanda".
Tirto menjadi orang pertama yang menggunakan koran sebagai sarana propaganda dan melatih opini publik. Dia berani menulis berbagai kritik keras yang ditujukan kepada pemerintah kolonial Belanda saat itu.
Dia juga membangun kantor berita Soenda Beirta (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Indian Poetri (1908).
Karier Tirto mencapai puncaknya ketika ia mengarahkan Medan Prijaji, surat kabar nasional pertama yang menggunakan bahasa Melayu, dan semua pekerjanya adalah penduduk asli.
Seringkali menyalurkan kritik pedas dari pemerintah Hindia Belanda dan mengungkapkan beberapa contoh ketidakadilan, Tirto telah diasingkan beberapa kali selama berbulan-bulan.
Dia sudah diasingkan selama enam bulan karena menulis artikel yang disebut pada saat pengadilan menghina bupati dan Patih Rembang, Raden Adipati Djojodiningrat dan Raden Notowidjojo.
Tirto juga dijatuhi hukuman penjara yang sama selama dua bulan, dari 18 Maret hingga 19 Mei 1910 di Telukbetung, Lampung. Ini karena memuat artikel yang berisi dugaan kolusi antara pengawas calon Purworejo A Simon dan Wedana Tjokrosentono tentang pengangkatan kepala desa desa Bapangan, kecamatan Cangkrep, di Purworejo.
Sepanjang masa kecilnya, kisah terakhir kehidupan Tirto juga tidak jelas. Jejak perlawanan perintis melalui media, lahir di Blora pada tahun 1880, baru saja menghilang, seolah-olah itu tidak pernah ada.
Sekitar Juni 1915, Tirto berada di Batavia setelah diasingkan ke Ambon pada 1912-1913.
Cicit Tirto, Mas Raden Joko Prawoto Mulyadi atau lebih dikenal sebagai Okky Tirto, mengatakan kepada beritaterkini.com bahwa pada tahun 2016 kakek buyutnya telah diamankan oleh operasi intelijen yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Tirto bisa jadi didiamkan dalam operasi intelijen pemerintah kolonial sejak tahun 1912 hingga tutup usia pada 7 Desember 1918. Namun jejak karya jurnalistiknya, termasuk keberanian dan perlawanannya terhadap ketidakadilan masih membekas hingga kini.
Tak hanya di dunia jurnalistik, dia juga berjasa dalam bidang pergerakan nasional dengan mendirikan Serikat Dagang Islam yang bertujuan untuk memajukan perdagangan pribumi atau bumiputera.
No comments